Rabu, 11 Januari 2012

Penerapan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Dalam Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlind


A. Tanggung Jawab Korporasi Dikaitkan dengan Penerapan KLHS dalam Sistem Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.[1] Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pembangunan berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan lingkungan, distorsi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, KLHS seharusnya tidak diartikan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang semata-mata ditujukan pada komponen-komponen Kebijakan, Rencana, dan Program (KRP), tapi yang lebih penting adalah sebagai suatu cara untuk meyakinkan bahwa implikasi pelaksanaan KRP terhadap lingkungan lingkungan.

Seiring dengan semakin berkembangnya KLHS, tujuan KLHS juga mengalami perluasan dibanding ketika pertama kali diperkenalkan pada dekade 1970an. Pada saat ini teridentifikasi tiga pilihan tujuan KLHS yang tersusun secara berjenjang (hirarkis), yakni: instrumental, transformatif dan subtantif. Untuk menghasilkan KLHS yang bersifat transformatif atau substantif tidak cukup hanya mengandalkan pada penguasaan prosedur dan metode KLHS, namun juga diperlukan kehadiran good governance yang diindikasikan oleh adanya keterbukaan, transparansi, dan tersedianya aneka pilihan kebijakan, rencana, atau program.[2]

Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sustainable development memerlukan dua pra kondisi yaitu social responsibility dan environment responsibility. Terpenuhinya tanggung jawab sosial dan lingkungan akan lebih memudahkan tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Sebab sumber-sumber produksi yang sangat penting bagi aktivitas perusahaan yaitu tenaga kerja, bahan baku, dan pasar telah dapat lebih terpelihara. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan ini, maka perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Dan pada akhirnya keberlanjutan dan kelestarian bumi juga akan lebih terjamin.[3]

KLHS

Untuk lebih memahami penerapan KLHS dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup (SPLH) diberbagai kegiatan yang wajib AMDAL, terdapat skema dari penerapan tersebut yaitu[4]:

Pelestarian lingkungan hidup (Daya Tampung dan Daya Dukung Lingkungan

Izin Lingkungan

AMDAL

SPLH

(RKL dan RPL)

(Rencana Tata Ruang) sistem hukum kawasan à BML&BKL

1. Perencanaan

2. Pemanfaatan

3.

Izin Kegiatan

sektor

Pengawasan dan pengendalian


Tanggung jawab dari korporasi sebelum memulai kegiatan usahanya ialah menyusun dokumen AMDAL bersama konsultan AMDAL apabila kegiatan dan/atau usahanya tersebut menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan disekitarnya. Penyusunan AMDAL tersebut merujuk pada KLHS daerah setempat, PERDA, serta peraturan Tata Ruang setempat. Apabila ternyata dalam AMDAL tersebut ada teknologi yang dapat menanggulangi dampak besar dan penting (yang negatif) dari kegiatan tersebut maka AMDAL tersebut akan menjadi acuan untuk pemberian izin kegiatan dan/atau usaha tersebut. Proses pengambilan keputusan tidak dapat dipisahkan dari tujuan AMDAL sebagai salah satu ketentuan hukum (hukum administrasi negara) untuk melaksanakan Pasal 22 UUPPLH-09. Atas dasar ketentuan tersebut AMDAL merupakan salah satu alat bagi pengambilan keputusan untuk mempertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh suatu kegiatan terhadap lingkungan hidup.[5] Setelah izin dikeluarkan, maka dilakukan pemantauan terhadap kegiatan dari korporasi tersebut.

Apabila dalam pemantauan ternyata perusahaan telah mencemari atau bahkan telah merusak lingkungan sekitar, maka akan diberikan sanksi-sanksi yaitu berupa sanksi administratif, perdata, ataupun sanksi pidana. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) UUPPLH-09 yaitu sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 76 ayat (2) UUPPLH-09 yang dapat berupa:

a. Teguran tertulis;

b. Paksaan pemerintah;

c. Pembekuan izin lingkungan; atau

d. Pencabutan izin lingkungan.

Sanksi administrasi berdasarkan Pasal 76 ayat (1) UUPPLH dijatuhkan kepada penanggungjawab usaha dan atau/kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Izin lingkungan berdasarkan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.[6]

Berdasarkan ketentuan Pasal 41 UUPPLH ketentuan lebih lanjut mengenai izin lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 UUPPLH, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), namun hingga saat ini PP yang mengatur tentang izin lingkungan belum terbit. Dengan demikian menerapkan Pasal 100 UUPPLH terhadap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dengan alasan sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi belum dapat diterapkan saat ini sebab ketentuan mengenai izin lingkungan belum ada (belum terbit). Belum adanya (terbitnya) ketentuan izin lingkungan berarti izin lingkungan sampai saat ini belum ada. Belum adanya izin lingkungan berarti untuk menjatuhkan sanksi administratif berdasarkan Pasal 76 ayat (1) UUPPLH belum bisa dilaksanakan.[7]

Jika sanksi administratif masih tidak diindahkan/dipedulikan lagi oleh korporasi, maka adanya penyimpangan dari asas-asas umum hukum pidana yaitu tentang adanya ketentuan bahwa badan hukum dapat melakukan tindak pidana dan dapat dituntut serta dijatuhi sanksi pidana maka akan timbul beberapa permasalahan baik dalam hukum pidana materialnya maupun yang berhubungan dengan hukum pidana formilnya. Beberapa permasalahan yang akan timbul diantaranya adalah[8] :

- Kapankah badan hukum itu dapat dikatakan melakukan tindak pidana? Mengenai hal ini di dalam Pasal 46 ayat (2)Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup:

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersamasama.”

Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa badan hukum dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila ada orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dan dalam lingkungan badan hukum itu melakukan sesuatu yang menurut uu tersebut merupakan tindak pidana.

- Bagaimanakah menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana badan hukum tersebut? Meskipun badan hukum dinyatakan dapat melakukan tindak pidana, untuk menjatuhkan sanksi pidana harus dapat ditentukan kesalahannya dan kesalahan mana dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum tersebut.

Didalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya ada dua bentuk (sanksi) pidana yang dapat dijatuhkan baik terhadap perorangan (manusia) maupun terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan dan organisasi lain yaitu pidana penjara yang khusus diperuntukkan kepada seseorang/pengurus suatu badan hukum yang melakukan tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Pelaku tindak pidana lingkungan hidup ini dijatuhi pidana penjara paling sedikit 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. Disamping itu ,pidana denda juga diterapkan bersama-sama dengan pidana penjara yang besarnya mulai dari paling sedikit 100.000.000 (seratus juta rupiah) sampai dengan denda paling banyak 750.000.000 ( tujuh ratus juta rupiah). Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 41 (1) dan 42 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 41 (1) “ Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000 ( lima ratus juta rupiah )”

Pasal 42 (1) “ Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000 ( seratus juta rupiah ) “

Sedang apabila tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dilakukan oleh badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda tersebut diperberat sepertiga dari ancaman pidana denda yang dijatuhkan kepada selain badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 45 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga“.

Selain pidana denda, terhadap pelaku tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa[9] :

  1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ; dan/atau
  2. penutupan seluruh atau sebagian korporasi ; dan/atau
  3. perbaikan akibat tindak pidana ; dan/atau
  4. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak ; dan/atau
  5. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak ; dan/atau
  6. menempatkan korporasi di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Selain itu ada juga ancaman pidana yang dibagi menjadi 2 bentuk yaitu berupa penegakan hukum secara preventif dan represif. Penegakan hukum pidana lingkungan yang bersifat preventif adalah penegakan hukum sebelum terjadinya pelanggaran atau pencemaran lingkungan hidup. Hal ini erat kaitannya dengan masalah administrasi lingkungan, yaitu : pemberian izin. Dalam pemberian izin usaha, pemerintah hendaknya memperhatikan dampak social dan dampak lingkungan hidup yang akan timbul dari kegiatan usaha tersebut. Sedangkan penegakan hukum pidana lingkungan yang bersifat represif adalah penegakan hukum setelah terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Dalam hukum lingkungan, penegakan hukum secara preventif harus lebih diutamakan, karena penanggulangan akibat pencemaran melalui penegakan hukum represif memerlukan biaya yang sangat besar. Di samping itu kerugian yang akan diderita oleh lingkungan sebagai akibat dari pencemaran, tidak mungkin dapat dipulihkan kembali dalam waktu yang cepat.Koesnadi berpendapat bahwa upaya penegakan hukum lingkungan yang harus dilakukan lebih dahulu adalah yang bersifat compliance, yaitu pemenuhan peraturan, atau penegakan hukum preventifnya dengan pengawasannya.[10]

B. Contoh Kasus-Kasus yang Berkaitan dengan Tanggung Jawab Korporasi

Di Indonesia sekarang ini banyak sekali kasus-kasus lingkungan yang berakibatkan pada lingkungan maupun keadaan sosial disekitarnya, kasus kerusakan lingkungan di lokasi penambangan timah inkonvensional di pantai Pulau Bangka-Belitung dan tidak dapat ditentukan siapakah pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi karena kegiatan penambangan oleh penambangan rakyat tak berizin yang mengejar setoran pada PT. Timah. Tbk. Sebagai akibat penambangan inkonvensional tersebut terjadi pencemaran air permukaan laut dan perairan umum, lahan menjadi tandus, terjadi abrasi pantai, dan kerusakan laut.

Contoh lain adalah konflik antara PT Freeport Indonesia dengan rakyat Papua. Penggunaan lahan tanah adapt, perusakan dan penghancuran lingkungan hidup, penghancuran perekonomian, dan pengikaran eksistensi penduduk Amungme merupakan kenyataan pahit yang harus diteima rakyat Papua akibat keberadaan operasi penambangan PT. Freeport Indonesia. Bencana kerusakan lingkungan hidup dan komunitas lain yang ditimbulkan adalah jebolnya Danau Wanagon hingga tiga kali (20 Juni 1998; 20-21 Maret 2000; 4 Mei 2000) akibat pembuangan limbah yang sangat besar kapasitasnya dan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan (Rudito dan Famiola, 2007).

Kedua contoh tersebut hanya merupakan sebagian kecil gambaran fenomena kegagalan CSR yang muncul di Indonesia, dan masih banyak lagi contoh kasus seperti kasus PT Newmont Minahasa Raya, kasus Lumpur panas Sidoarjo yang diakibatkan kelalaian PT Lapindo Brantas, kasus perusahaan tambang minyak dan gas bumi, Unicoal (perusahaan Amerika Serikat), kasus PT Kelian Equatorial Mining pada komunitas Dayak, kasus suku Dayak dengan perusahaan tambang emas milik Australia (Aurora Gold), dan kasus pencemaran air raksa yang mengancam kehidupan 1,8juta jiwa penduduk Kalimantan Tengah yang merupakan kasus suku Dayak vs “Minamata”.[11]

C. Kesimpulan

Dalam penerapan KLHS sistem pengelolaan lingkungan hidup berkaitan dengan tanggung jawab korporasi, hal terpenting yang harus dilakukan adalah membangkitkan kesadaran korporasi itu sendiri dan membangkitkan rasa memiliki terhadap lingkungan dan komunitas sekitar. Hal ini menuntut perlunya perhatian stakeholder, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam membuat regulasi atau ketentuan yang disepakati bersama antara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai keefektifan program CSR. Konsepsi CSR merupakan bentuk tanggung jawab korporasi, tidak dapat dipungkiri peran Undang-Undang sebagai bentuk legalitas untuk mengatur pelaksanaan CSR sangat diperlukan. Disamping itu, untuk meningkatkan keseriusan perhatian dan tingkat kepedulian perusahaan terhadap kelestarian lingkungan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, diperlukan adanya suatu alat evaluasi untuk menilai tingkat keberhasilan perusahaan dalam melaksanakan program CSR. Hasil dari penilaian yang dilakukan oleh lembaga penilai independen dapat dijadikan sebagai dasar untuk pemberian penghargaan dalam bentuk award atas peran serta perusahaan terhadap komunitas sekitar. Pada bagian selanjutnya akan dibahas beberapa kisah sukses implementasi CSR yang dilakukan oleh beberapa perusahaan domestik dan bentuk-bentuk partisipasi perusahaan tersebut dalam pengembangan masyarakat, ekonomi, dan pelestarian lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Buku – Buku

Daud Silalahi, Masalah Pengelolaan Lingkungan Hidup (bahan kuliah Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung), Lawencon, 2011.

___________, AMDAL: dalam Sistem Hukum LIngkungan di Indonesia, Lawencon, Jakarta, 2006.

Lina Anatan, Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teoritis Dan Praktik Di Indonesia, Universitas Maranata, Bandung.

M Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Artikel, Makalah, dan Jurnal

Alvi Syahrin, Penerapan Ketentuan Pidana Pasal 100 UUPPLH, www.alvisyahrin.blog.usu.ac.id, diakses pada tanggal 3 Januari 2012 Pk. 12:32 WIB.

Kementrian Lingkungan Hidup, KLHS: Pentingnya Penerapan KLHS di Indonesia, www.menlh.go.id, diakses pada tanggal 3 Januari 2012 Pk. 14:41 WIB.

Tanggungjawab Korporasi Terhadap Undang-Undang Lingkungan Hidup, www.menlh.go.id, diakses pada tanggal 30 Desember 2011 Pk. 17:26 WIB.



[1] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[2] Kementrian Lingkungan Hidup, KLHS: Pentingnya Penerapan KLHS di Indonesia, www.menlh.go.id, diakses pada tanggal 3 Januari 2012 Pk. 14:41 WIB.

[3] Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Lingkungan, www.arthagrahapeduli.org, diakses pada tanggal 3 Januari 2012 Pk. 12:30 WIB.

[4] Catatan perkuliahan Masalah Pengelolaan Lingkungan Hidup oleh Prof M Daud Silalahi, SH pada tanggal 28 Oktober 2011

[5] Daud Silalahi, AMDAL: dalam Sistem Hukum LIngkungan di Indonesia, Lawencon, Jakarta, 2006, hlm. 29.

[6] Lihat Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

[7] Alvi Syahrin, Penerapan Ketentuan Pidana Pasal 100 UUPPLH, www.alvisyahrin.blog.usu.ac.id, diakses pada tanggal 3 Januari 2012 Pk. 12:32 WIB.

[8] M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 85.

[9] M. Hamdan, Op.Cit, hlm. 87

[10]Tanggungjawab Korporasi Terhadap Undang-Undang Lingkungan Hidup, www.menlh.go.id, diakses pada tanggal 30 Desember 2011 Pk. 17:26 WIB.

[11] Lina Anatan, Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teoritis Dan Praktik Di Indonesia, Universitas Maranata, Bandung, hlm. 7-8.